Bangsa Indonesia jatuh ke tangan kolonialisme Barat dimulai sejak bangsa-bangsa Barat menundukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Kerajaan yang ada di Nusantara secara perlahan dikuasai oleh Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris. Ada beberapa faktor pendorong bagi bangsa Barat untuk datang dan menguasai Bangsa Indonesia, di antaranya karena kekayaan alam Indonesia, terutama rempah-rempah. Sejak ratusan tahun yang lalu, rempah-rempah Nusantara merupakan barang yang berharga di Eropa. Oleh karena itu, bagi bangsa Barat yang mampu mendatangkan rempah-rempah dari Nusantara dan memperdagangkannya di Barat dapat mendatangkan keuntungan yang besar bagi bangsa tersebut.
Bangsa Portugis merupakan bangsa Barat pertama yang menguasai kerajaan di Nusantara, yaitu sejak merebut Malaka pada 1511. Kekuasaannya berakhir setelah Belanda merebut Malaka pada 1640. Adapun bangsa Spanyol tidak sempat banyak menguasai bangsa Indonesia, karena kalah bersaing dengan bangsa Portugis dan hanya memusatkan daerah kolonialnya di Filipina. Sementara bangsa Belanda merupakan bangsa yang paling lama melakukan penjajahan di Nusantara.
Belanda sebagai bangsa yang paling lama menguasai bangsa Indonesia sudah melakukan banyak kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Pada tahun 1596 Belanda mulai datang ke Banten di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Kedatangan yang pertama ini diikuti oleh kedatangan rombongan Belanda yang selanjutnya menyebabkan persaingan perdagangan dan penguasaan rempah-rempah di antara para pengusaha Belanda. Untuk mengatasi persaingan dagang tersebut dan atas saran Johan Van Oldenbarnevelt, pada tahun 1602 didirikanlah kongsi dagang Belanda yang diberi nama Vereenigde OostIndische Compagnie (VOC).
Tujuan Belanda mendirikan VOC adalah:
1) menghindarkan persaingan antar pengusaha Belanda;
2) mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya;
3) agar mampu bersaing dengan kongsi dagang dari bangsa lain, seperti Portugis dan Spanyol.
Untuk mencapai tujuan-tujuan VOC, maka pemerintah Belanda memberikan beberapa hak istimewa (Hak Octrooij), sebagai berikut:
1) monopoli kegiatan perdagangan;
2) membentuk kekuatan tentara sendiri untuk mempertahankan diri;
3) mengadakan perjanjian dengan raja-raja;
4) mendirikan benteng-benteng pertahanan;
5) mencetak dan mengedarkan uang sendiri;
6) menyatakan perang dan mengadakan perdamaian.
Dilihat dari tujuan pendiriannya, VOC bukan semata-mata badan perdagangan yang mencari keuntungan, tetapi juga merupakan badan pemerintahan yang dijadikan alat oleh Belanda sebagai alat untuk menjajah Nusantara. Gerakan penjajahan Belanda melalui VOC yang didirikannya menetapkan beberapa kebijakan yang sangat merugikan rakyat, seperti:
1) menarik upeti (verplichte leverantie) dari raja-raja yang telah ditaklukkan oleh Belanda;
2) menarik pajak (contingenten) dari rakyat dalam bentuk hasil bumi;
3) mengadakan pelayaran Hongi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh armada Belanda dengan menggunakan perahu-perahu kecil untuk menangkap, mengawasi para pedagang dan penduduk pribumi yang dianggap melanggar ketentuan Belanda seperti menjual hasil pertanian kepada orang lain;
4) melakukan ektirpasi, yaitu menebas, membinasakan, dan menghancurkan tanaman rempah-rempah yang menjadi komoditas ekspor agar tidak mengalami kelebihan produksi yang menyebabkan jatuhnya harga;
5) mengangkat seorang gubernur jenderal untuk mengawasi dan melaksanakan jalannya pemerintahan di daerah yang dikuasainya, seperti Jan Piterzoon Coen (1619-1629) yang dikenal sebagai pendiri Kota Batavia dan kebijakan kolonialisasi untuk mendatangkan keluarga orang Belanda ke Nusantara untuk kebutuhan tenaga kerja Belanda.
Penjajahan yang dilakukan oleh VOC mengakibatkan rakyat Indonesia mendapat kerugian, menderita secara fisik, serta kekurangan uang dan barang untuk keperluan hidupnya. VOC tidak segan-segan menangkap rakyat yang dianggapnya memberontak, menjadikan budak belian, bahkan membunuh rakyat yang tidak berdosa. Setelah berkuasa cukup lama di Nusantara, dalam perkembangan selanjutnya VOC mengalami kemunduran.
Penyebab kemunduran VOC, yaitu:
1) merebaknya tindakan korupsi di kalangan para pegawai VOC;
2) adanya persaingan dagang yang ketat di antara sesama kongsi dagang negara lain seperti Compagnie des Indies (CDI) dari Prancis, dan East Indian Company (EIC) dari Inggris;
3) membengkaknya biaya perang yang dikeluarkan oleh VOC untuk mengatasi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan rakyat Indonesia di daerah-daerah; 4) akibat kekuasaan VOC yang cukup luas menyebabkan kebutuhan gaji pegawai semakin membengkak yang menyebabkan kebangkrutan.
Akibat kemunduran yang dialami VOC, akhirnya pada tahun 1795 dibentuklah panitia pembubaran VOC. Panitia ini membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799 dengan ketentuan semua utang dan kekayaannya diambil alih oleh pemerintah Belanda. Berakhirnya kekuasaan VOC menyebabkan kekuasaan Belanda semakin memudar. Di sisi lain pada saat yang bersamaan kongsi dagang Inggris semakin mengalami perkembangan. Hal ini membuat pemerintah Hindia Belanda semakin gencar untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Belanda di Indonesia. Belanda mengangkat Herman Willem Daendels untuk mengatur pemerintahan di Indonesia sekaligus mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels melakukan tindakan-tindakan seperti: pemindahan pusat pemerintahan lebih ke pedalaman, menambah jumlah prajurit, membangun benteng-benteng pertahanan, membuat jalan dari Anyer ke Panarukan, mengadakan Preanger Stelsel, dan rakyat dipaksa untuk kerja rodi.
Dalam perkembangan selanjutnya, semakin buruknya perekonomian Belanda mengakibatkan perubahan dalam siasat untuk memperbaiki keuangan mereka dan menguasai Indonesia, yang semula menggunakan politik monopoli menjadi politik bebas. Melalui rekomendasi Johannes Van de Bosch, seorang ahli keuangan Belanda ditetapkanlah Sistem Tanam Paksa atau Cultur Stelsel tahun 1830.
Tujuan Sistem Tanam Paksa adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tujuannya untuk mengisi kekosongan kas Belanda yang pada saat itu terkuras habis akibat perang.
Peraturan yang ditetapkan Belanda dalam rangka melaksanakan Sistem Tanam Paksa:
1) rakyat harus menyediakan seperlima dari tanah miliknya untuk tanaman ekspor, seperti kopi, tebu, teh dan tembakau, serta tanah tersebut harus bebas pajak tanah;
2) waktu tanam dari setiap tanaman tersebut tidak boleh lebih dari waktu pemeliharaan padi;
3) kerusakan tanaman akibat bencana alam ditanggung oleh pemerintah Belanda;
4) hasil tanaman rakyat tersebut harus diserahkan kepada Belanda dengan harga yang yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda;
5) bagi petani yang tidak memiliki tanah dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik milik pemerintah selama 66 hari.
Adanya Sistem Tanam Paksa sangat merugikan rakyat, karena pelaksanaannya tidak sesuai aturan dan adanya penyimpangan yang dilakukan para pengusaha pribumi. Mereka ingin menambah upah pengawasan dengan cara menekan rakyat seperti penyediaan tanah tidak seperlima lagi, tapi setengahnya; desa yang memiliki tanah subur semuanya digunakan untuk tanam paksa; semua kerusakan dan kegagalan panen akan ditanggung oleh petani dan rakyat.
Akibat dari kegiatan tanam paksa, rakyat Indonesia menderita kemiskinan yang berkepanjangan, kelaparan dan kematian terjadi dimana-mana. Sementara bagi Belanda tanam paksa merupakan ladang ekonomi yang banyak mendapatkan keuntungan. Kas Belanda yang asalnya kosong dapat dipenuhi kembali, kemudian secara berangsurangsur utang Belanda dapat dilunasi dan menjadikan Belanda sebagai negara yang tidak mengalami kesulitan keuangan.
Praktik tanam paksa menimbulkan reaksi dan sikap prihatin dari beberapa kalangan di antaranya sebagai berikut.
1) Baron Van Hovel, seorang misionaris yang menyatakan bahwa tanam paksa adalah suatu tindakan yang tidak manusiawi, karena menyebabkan rakyat sangat menderita.
2) E.F.E Douwes Dekker (Multatuli), seorang pejabat Belanda yang merasa prihatin terhadap penderitaan rakyat Indonesia, menulis buku berjudul Max Havelaar yang isinya menceritakan tentang penderitaan rakyat Indonesia akibat Sistem Tanam Paksa.
3) Golongan pengusaha atau kaum liberalis yang menghendaki kebebasan dalam berusaha.